Minggu, 03 November 2013

tugas softskill_persaingan antara 2 perusahaan



PERSAINGAN BISNIS ANTARA INDOVISION DENGAN PARABOLA

Ketika Indovision pertama kali berdiri pada Agustus 1988, pelanggan masih sangat minim dan program yang ditawarkan terbatas. Bisnis televisi dikuasai siaran berbasis teknologi terestrial, tentu saja pemain utama kala itu adalah TVRI.

Pesaing nyata Indovision di masa-masa awal adalah teknologi parabola. Hanya dengan membeli pemancar berbentuk piringan di atas rumah, konsumen dapat menikmati tayangan televisi internasional gratis.
Peruntungan Indovision berubah pada 1994, ketika pemerintah memberi hak eksklusif penggunaan sistem transmisi satelit Palapa C-2. Seiring dengan itu, sinyal parabola diacak, khusus untuk saluran premium Amerika Serikat, misalnya CNN, Discovery Channel, atau ESPN.

Pelanggan mulai bertambah, namun penetrasinya baru di kota-kota besar. Memasuki abad 21, perkembangan Indovision semakin signifikan. Melalui payung PT MNC Sky Vision, Harry Tanoe melebarkan sayap, dengan mendirikan Top TV. Saluran berbayar yang lebih murah biaya paketnya dibanding Indovision.
Perusahaan itu lantas menjadi pemain utama bisnis TV berbayar di Indonesia. Per Desember 2012, MSKY mampu menjaring lebih dari 1,72 juta pelanggan dengan pertumbuhan rata-rata per bulan lebih dari 50.000 pelanggan, mayoritas di kota-kota besar.
Indovision tidak lama sendirian. Perusahaan pelat merah PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) menyusul berikutnya dengan meluncurkan TelkomVision. Awalnya memakai sistem kabel ketika berdiri pada 1997, selanjutnya, televisi berbayar ini turut memanfaatkan potensi satelit.

Pertumbuhan pelanggan pun semakin besar. Kini, Telkom pun memperbesar ceruk pasar anak usahanya tersebut. Untuk pelanggan dari kalangan menengah ke bawah, tersedia Yes TV, sementara untuk pengguna premium disediakan Groovia TV.
Jagat TV berbayar Indonesia sempat ramai ketika Astro TV dari Malaysia masuk gelanggang. Namun pada 2008, televisi itu mengalami kebangkrutan. Biang masalahnya konflik internal antara Astro All Asia Networks dan DirectVision selaku pemilik Astro Nusantara, terkait masalah lisensi dan penguasaan saham.
Selain Astro, beberapa pengusaha yang coba-coba menyaingi Indovision dan TelkomVision turut berguguran. Di antaranya adalah PentaVision dan Centrin TV.
Sekilas persaingan di bisnis TV berbayar Indonesia sangat ketat. Padahal sebetulnya penetrasi pelanggan masih terlalu rendah. Penonton TV di Tanah Air mayoritas masih menyaksikan siaran gratis dari televisi nasional.
Berdasarkan riset Media Partners Asia, penetrasi TV berbayar pada 2012 di India mencapai 83 persen dari total rumah tangga, Singapura 81 persen, China 54 persen, sedangkan Indonesia masih sangat kecil yakni 7 persen.

Karena itu, keputusan VIVA terjun ke bisnis TV berbayar akan memanaskan persaingan kembali. Meski pada prinsipnya ceruk pasar masih sangat besar.
Direktur Utama VIVA Erick Thohir belum mengumumkan nama televisi berbayar ini. Tapi dia yakin, produk yang akan menjadi televisi ketiga dari perseroan setelah ANTV dan TVOne ini akan segera diluncurkan.
"Tahun ini kami memang tengah fokus untuk pay TV," ujarnya usai acara Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) VIVA di di Studio ANTV, Komplek Rasuna Epicentrum, Jakarta, Rabu (5/6).
Menurutnya, perseroan juga menyiapkan anggaran USD 10 juta untuk menunjang kinerja perseroan melalui free to air yang selama ini menjadi fokus bisnis perseroan.
"Dengan adanya peluncuran ini diharapkan menjaring pelanggan bisa mencapai 300.000 orang di awal semester 2014," ungkapnya.

Dana Bakrie untuk ekspansi ke bisnis TV berbayar ini berasal dari anggaran belanja modal 2013 sebesar USD 40 juta. Ditambah pinjaman USD 80 juta dari Deutsche Bank.
Keputusan ini jelas berani, pasalnya utang kelompok Bakrie secara keseluruhan masih besar. Belum lagi, performa VIVA tak terlalu oke. Terbukti, perseroan mencatat saldo laba ditahan yang negatif sekitar Rp 290 miliar dari neraca tahun lalu. Karena itu, VIVA tidak bagi-bagi keuntungan tahun ini.
Komisaris Utama VIVA, Anindya Bakrie, menuturkan tidak adanya pembagian dividen untuk kebaikan perseroan. "Saat ini posisi kami memang kurang tepat untuk membagikan dividen karena kami ingin melihat Viva berkembang terlebih dahulu," ujarnya kemarin.
Masalahnya, VIVA tidak sendirian. Di hari yang sama saat Erick Thohir mengumumkan rencana terjun ke bisnis TV berbayar, Chairul Tanjung yang juga pemilik Trans TV dan Trans 7, sudah langsung bergerak aktif.
CT, panggilan akrab Chairul, menggandeng TelkomVision. Telkom berperan sebagai penyedia infrastruktur, sedangkan CT Corpora miliknya akan menyediakan konten layanan.
"Bersama Telkom, kami berkomitmen untuk memajukan industri TV berbayar bagi masyarakat Indonesia melalui TelkomVision," kata Chairul kemarin saat peresmian kerja sama dengan Telkom.
Alhasil, bisnis TV berbayar menjadi arena pertarungan berbeda dari tiga konglomerat media yang selama ini sudah saling bersaing.
Siapa yang akan tumbang, siapa jadi pemenang, publik masih harus menunggu sampai beberapa waktu ke depan.

Kesimpulan :
Dari analisa kedua perusahaan tersebut, saya menyimpulkan bahwa perusahaan Indovision adalah perusahaan yang paling bagus di bandingkan Parabola. Karena Indovison lebih luas jangkauannya hingga ke Luar Negeri. Sedangkan, Parabola jangkauannya hanya di daerah saja.

http://www.merdeka.com/uang/viva-ikut-terjun-persaingan-tv-berbayar-makin-panas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar