PERSAINGAN BISNIS ANTARA INDOVISION DENGAN PARABOLA
Ketika Indovision pertama kali
berdiri pada Agustus 1988, pelanggan masih sangat minim dan program yang
ditawarkan terbatas. Bisnis televisi dikuasai siaran berbasis teknologi
terestrial, tentu saja pemain utama kala itu adalah TVRI.
Pesaing nyata Indovision di
masa-masa awal adalah teknologi parabola. Hanya dengan membeli pemancar
berbentuk piringan di atas rumah, konsumen dapat menikmati tayangan televisi
internasional gratis.
Peruntungan Indovision berubah
pada 1994, ketika pemerintah memberi hak eksklusif penggunaan sistem transmisi
satelit Palapa C-2. Seiring dengan itu, sinyal parabola diacak, khusus untuk
saluran premium Amerika Serikat, misalnya CNN, Discovery Channel, atau ESPN.
Pelanggan mulai bertambah, namun
penetrasinya baru di kota-kota besar. Memasuki abad 21, perkembangan Indovision
semakin signifikan. Melalui payung PT MNC Sky Vision, Harry Tanoe melebarkan
sayap, dengan mendirikan Top TV. Saluran berbayar yang lebih murah biaya
paketnya dibanding Indovision.
Perusahaan itu lantas menjadi
pemain utama bisnis TV berbayar di Indonesia. Per Desember 2012, MSKY mampu
menjaring lebih dari 1,72 juta pelanggan dengan pertumbuhan rata-rata per bulan
lebih dari 50.000 pelanggan, mayoritas di kota-kota besar.
Indovision tidak lama sendirian.
Perusahaan pelat merah PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) menyusul berikutnya
dengan meluncurkan TelkomVision. Awalnya memakai sistem kabel ketika berdiri
pada 1997, selanjutnya, televisi berbayar ini turut memanfaatkan potensi
satelit.
Pertumbuhan pelanggan pun semakin
besar. Kini, Telkom pun memperbesar ceruk pasar anak usahanya tersebut. Untuk
pelanggan dari kalangan menengah ke bawah, tersedia Yes TV, sementara untuk
pengguna premium disediakan Groovia TV.
Jagat TV berbayar Indonesia
sempat ramai ketika Astro TV dari Malaysia masuk gelanggang. Namun pada 2008,
televisi itu mengalami kebangkrutan. Biang masalahnya konflik internal antara
Astro All Asia Networks dan DirectVision selaku pemilik Astro Nusantara,
terkait masalah lisensi dan penguasaan saham.
Selain Astro, beberapa pengusaha
yang coba-coba menyaingi Indovision dan TelkomVision turut berguguran. Di
antaranya adalah PentaVision dan Centrin TV.
Sekilas persaingan di bisnis TV
berbayar Indonesia sangat ketat. Padahal sebetulnya penetrasi pelanggan masih
terlalu rendah. Penonton TV di Tanah Air mayoritas masih menyaksikan siaran
gratis dari televisi nasional.
Berdasarkan riset Media Partners
Asia, penetrasi TV berbayar pada 2012 di India mencapai 83 persen dari total
rumah tangga, Singapura 81 persen, China 54 persen, sedangkan Indonesia masih
sangat kecil yakni 7 persen.
Karena itu, keputusan VIVA
terjun ke bisnis TV berbayar akan memanaskan persaingan kembali. Meski pada
prinsipnya ceruk pasar masih sangat besar.
Direktur Utama VIVA Erick Thohir
belum mengumumkan nama televisi berbayar ini. Tapi dia yakin, produk yang akan
menjadi televisi ketiga dari perseroan setelah ANTV dan TVOne ini akan segera
diluncurkan.
"Tahun ini kami memang
tengah fokus untuk pay TV," ujarnya usai acara Rapat Umum Pemegang Saham
Tahunan (RUPST) VIVA di di Studio ANTV, Komplek Rasuna Epicentrum, Jakarta,
Rabu (5/6).
Menurutnya, perseroan juga
menyiapkan anggaran USD 10 juta untuk menunjang kinerja perseroan melalui free
to air yang selama ini menjadi fokus bisnis perseroan.
"Dengan adanya peluncuran
ini diharapkan menjaring pelanggan bisa mencapai 300.000 orang di awal semester
2014," ungkapnya.
Dana Bakrie untuk ekspansi ke
bisnis TV berbayar ini berasal dari anggaran belanja modal 2013 sebesar USD 40
juta. Ditambah pinjaman USD 80 juta dari Deutsche Bank.
Keputusan ini jelas berani,
pasalnya utang kelompok Bakrie secara keseluruhan masih besar. Belum lagi,
performa VIVA tak terlalu oke. Terbukti, perseroan mencatat saldo laba ditahan
yang negatif sekitar Rp 290 miliar dari neraca tahun lalu. Karena itu, VIVA
tidak bagi-bagi keuntungan tahun ini.
Komisaris Utama VIVA, Anindya
Bakrie, menuturkan tidak adanya pembagian dividen untuk kebaikan perseroan.
"Saat ini posisi kami memang kurang tepat untuk membagikan dividen karena
kami ingin melihat Viva berkembang terlebih dahulu," ujarnya kemarin.
Masalahnya, VIVA tidak
sendirian. Di hari yang sama saat Erick Thohir mengumumkan rencana terjun ke
bisnis TV berbayar, Chairul Tanjung yang juga pemilik Trans TV dan Trans 7,
sudah langsung bergerak aktif.
CT, panggilan akrab Chairul,
menggandeng TelkomVision. Telkom berperan sebagai penyedia infrastruktur,
sedangkan CT Corpora miliknya akan menyediakan konten layanan.
"Bersama Telkom, kami
berkomitmen untuk memajukan industri TV berbayar bagi masyarakat Indonesia
melalui TelkomVision," kata Chairul kemarin saat peresmian kerja sama
dengan Telkom.
Alhasil, bisnis TV berbayar
menjadi arena pertarungan berbeda dari tiga konglomerat media yang selama ini
sudah saling bersaing.
Siapa yang akan tumbang, siapa
jadi pemenang, publik masih harus menunggu sampai beberapa waktu ke depan.
Kesimpulan :
Dari analisa kedua perusahaan
tersebut, saya menyimpulkan bahwa perusahaan Indovision adalah perusahaan yang
paling bagus di bandingkan Parabola. Karena Indovison lebih luas jangkauannya
hingga ke Luar Negeri. Sedangkan, Parabola jangkauannya hanya di daerah saja.
http://www.merdeka.com/uang/viva-ikut-terjun-persaingan-tv-berbayar-makin-panas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar