Ø Pengertian
Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam
bukunya principles of marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang
membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. [1][1]
Konsumen itu sendiri dibedakan
menjadi dua :
a.
Konsumen Akhir adalah Konsumen yang
mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.
·
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) :“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri
atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”.
· Menurut YLKI (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia): “Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali”.
·
Menurut KUH Perdata Baru Belanda :
“orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang
menjalankan profesi atau perusahaan”.
b.
Konsumen Antara adalah konsumen yang
memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya. Contoh: distributor, agen
dan pengecer. [2][2]
Ada dua cara untuk memperoleh
barang, yakni :
·
Membeli. Bagi orang yang memperoleh
suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian
dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui
perjanjian tersebut.
·
Cara lain selain membeli, yakni
hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat
dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan
perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan
konsumen, dalam hal ini UU PK. [3][3]
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang
pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal
yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi,
seperti baan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat
dan adanya batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang
memperdagangkan sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen
rasanya kurang tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah ‘konsumen antara’
yang menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku konsumen akhir.
Justru karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku produsen yang
melawan hokum, seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen,
sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap
individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan
khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia
berasal dari pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia
berbuat sendiri ataukah secara kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive,
siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara
sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun
secara ketat dengan sederatan larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman
keras, mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah
rumusan pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan
secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang Konsumen
Muslim. Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut
penulis adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang
maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi
Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal,
baik, dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi
kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama
yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.
Ø Hak
dan Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini,
sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin
penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu
yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus dilakukan.
a. Hak
Konsumen (Pasal 4)
·
Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang, atau jasa
·
Hak untuk memilih barang dan jasa
serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi
serta jaminan yang dijanjikan
·
Hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa
·
Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
·
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut
·
Hak untuk pembinaan dan pendidikan
konsumen
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban
Konsumen (Pasal 5)
·
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan
dan keselamatan
·
Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang atau jasa
·
Membayar sesuia dengan nilai tukar
yang disepakati
·
Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa
perlindungan konsumen.
Dengan
terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis
untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan
terjadilah keseimbangan (tawazun)
sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan
akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak
hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan
orang lain.
Salah
satu wujud perlindungan pada orang lain, kepada produsen dituntut agar setiap
produk yang akan dihasilkan aman bahan bakunya, benar prosesnya dan halal
zatnya sehingga dengan demikian bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana
dikutip sebelum ini, yakni untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang
dan jasa apa yang akan dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannya ?. Mampu
menjawab dan mempraktikkan pertyaan-pertayaan ini maka berarti para pelaku
bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan konsumen sesuai yang di inginkan
dalam syariat Islam.
Hak
untuk memilih barang yang didalam Islam dikenal dengan istilah khiyar, disini dimaksudkan agar konsumen
diberi kebebesan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan selera
(keinginannya). Selain itu juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan
harga yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh
pelaku bisnis terhadap konsumen Karena bisa jadi barang yang telah diperoleh
tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Contoh misalnya dalam hal timbangan
(ukuran), Islam melarang dengan ancaman keras sebagaimana firman Allah swt:
1.
kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.[4][4]
Ø Azas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya
didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari
produsen atau pelaku usaha.
a. Azas
Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan
Konsumen : “Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Azas Perlindungan Konsumen:
·
Asas Manfaat
mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan,
·
Asas Keadilan
partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil,
·
Asas Keseimbangan
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual,
·
Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen
memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
·
Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
b. Tujuan
Perlindungan Konsumen
Sedangkan
Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
· meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
· mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/
atau jasa;
· meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
· menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
· menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
· meningkatkan kualitas barang dan/
atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. [5][5]
Ø Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi
dua, yaitu administrative dan pidana.
1.
Sanksi Administratif (pasal 60)
1) Badan Penyelesain Sengketa Konsumen
berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang
melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2) Sanksi administrative berupa
penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3) Tata cara penetapan sanksi
administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
2.
Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana
menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas
apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1) Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2),
Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2) Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal
14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3) Terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut pasal 63, dikatakan :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan barang tertentu
b. Pengumuman keputusan hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d. Perintah penghentian kegiatan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari
peredaran
f. Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik
hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya
sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap konsumen
tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko
adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip
saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin
mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya.
Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi
masyarakat dalam kehidupan.
Ø Contoh
kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Berbagai
kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini
biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari
sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang
menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk
menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial
di internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran
nama baik.
Muasalnya
adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi
keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut.
Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi
dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah
Demam Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita
merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa
penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami
pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan
mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa
awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.
Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.
Analisis
kasus :
Dalam
kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di
Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita
malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik,
pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Karena ancaman
hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5
tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.
Padahal
prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas
layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun
dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari
kasus di atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk menyuarakan
keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku
usaha produk barang atau jasa. keputusan yang kurang berpihak pada keadilan
seperti itu tidak bisa diterima,karna merugikan konsumen.
SUMBER
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar